KOMIK: DARI KESALAHKAPRAHAN SAMPAI KESALAHPAHAMAN

(SEBUAH PLEIDOI BUAT KOMIK )

Komik sebagai sebuah media mempunyai karakteristik tersendiri. Jika seorang perupa mengatakan “ Sebuah gambar adalah seribu kata-kata”, dan seorang sastrawan menimpali ” Sebuah kata adalah seribu gambar”. Maka komik memiliki keduanya, “ kekuatan gambar” dan “kekuatan kata”. Karena komik adalah imagery media antara film dan buku. Komik adalah sebuah bahasa Literer Visual yang mengisi ruang yang terdapat diantara kedua media tersebut.



Sejak awal sejarahnya, komik, memang cenderung tampil sederhana, ingan, dan lucu, dengan munculnya The Yellow Kid dan Buster Brown’s Blue Ribbon Book of Jokes and Jingles, dua buah komik yang diterbitkan pertama kali, akhir 1890-an. Maka munculah istilah “comic” yang dalam bahasa Inggris berarti ‘ lucu’. Tetapi kemudian menjadi tidak sesuai lagi, dengan semakin berkembangnya genre-genre baru, yang selanjutnya tidak selalu harus lucu. Setelah 30 th kemudian dapat kita jumpai tema-tema Kepahlawanan, Roman sampai Horror. Apaboleh buat label ‘comic’ sudah terlanjur lengket Dan kesalahkaprahan itupun berlanjut sampai sekarang.
Kini banyak orang memahami komik hanya sebagai media hiburan. Membaca komik identik dengan mengisi waktu luang atau malah buang-buang waktu. Bahkan saya, sempat ditegur teman karena membawa dan membaca komik. Dari kejadian tersebut dapat kita tangkap ada semacam stigma bahwa komik hanya untuk anak-anak saja( karena dalam konteks ini saya sudah cukup berumur) dan membaca komik tidak ada manfaatnya.

Padahal tidak demikian kenyataannya. Dalam tradisi Manga, sejak akhir 1950-an di Jepang muncul pembagian grouping pembaca komik. Shoujo manga untuk anak perempuan, Shounen manga untuk anak laki-laki, Seinen untuk remaja, dan Gekiga ( yang dalam bahasa Inggris artinya“ theatrical pictures “ ) untuk pembaca dewasa. Malah belakangan muncul manga untuk kalangan profesional sampai ibu rumah tangga. Di Perancis komik untuk kalangan dewasa berkembang pesat. Survey tahun 1993, 4 dari 10 orang Perancis usia 25-44 th membaca komik. Sepertiga dari 675 judul yang dipublikasikan di Perancis th 1992 ditujukan untuk kalangan dewasa. Bahkan akhir-akhir ini muncul istilah “ Graphic Novel “, komik dengan tema-tema yang lebih berat, dengan penggarapan lebih nyeni, dan dilihat dari temanya jelas target sasarannya adalah orang dewasa.

Adalah kurang jernih bila kita berpikir membaca komik tak ada manfaatnya. Sedikitnya kita mendapat hiburan . Coba kita luaskan pandangan kita, ternyata komik jauh bermanfaat dari yang kita duga. Tercatat beberapa lembaga di Amerika pernah menggunakan komik sebagai media penerangan. Sebut saja Komisi Energi Atom Amerika Serikat (AEC), General Electric Corporation, mereka menerangkan ilmu atom, listrik dan ilmu pengetahuan lainnya dalam bentuk komik. Kemudian sebuah organisasi kemasyarakatan Anti Defamation League (Liga Anti Permusuhan) menggunakan komik untuk menyebarluaskan prinsip-prinsip toleransi dan
persaudaraan. Di Cina, Mao Ze Dong menggunakan komik sebagai alat propaganda kepartaiannya. Dan kini dapat kita jumpai komik-komik yang mencoba melatih kepekaan emosi dan sosial kita, seperti komik terbitan Mizan, atau komik ilmu pengetahuannya KPG. Tanpa kita sadari berbagai instruksi manual, brosur, dan iklan juga menggunakan bahasa rupa komik agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Tak kenal maka tak sayang.Begitu kira-kira gambaran dari mereka yang apriori terhadap komik. Banyak orang tua dan guru (pendidik) yang mempersalahkan komik sebagai penyebab anak-anak malas belajar. Beberapa kalangan mengkhawatirkan kegemaran membaca komik membuat anak-anak tidak tertarik lagi membaca buku-buku yang”serius”. Bagaimana kalau kita berpikir terbalik, justru kegemaran membaca komik membuat mereka terlatih untuk membaca. Semacam ‘gerbang’ untuk membaca buku-buku lain
yang lebih “serius”. Dan yang patut diperhitungkan adalah sedikit atau banyak memperlancar kemampuan bahasa, dengan membaca komik anak-anak tidak kesulitan ketika membuat cerita.

Selanjutnya beberapa tuduhan menunjuk komik sebagai salah satu pemupuk
kenakalan remaja. Meskipun belum dapat dibuktikan secara pasti, isi komik tertentu yang menggambarkan kekerasan secara berlebihan serta menampilkan pornografi dianggap sebagai penyulutnya. Komikpun dianggap sebagai “barang haram” sehingga beberapa orangtua melarang anaknya membaca komik, dan di sekolah-sekolah mengadakan razia dan tidak layak
untuk menjadi koleksi perpustakaan.

Hal mendasar yang perlu dijernihkan adalah kita tidak bisa men’generalisir’ semua komik adalah membawa pengaruh jelek pada penikmatnya. Karena apabila kita lebih obyektif dapat melihat bahwa komik sebagai media komunikasi tergantung dari isi pesannya dan ‘the man behind’nya. Apabila kita bawa kearah kebaikan, maka baiklah komik tersebut. Begitu juga berlaku sebaliknya. Seperti sebuah pisau, ditangan koki ahli dia akan mengantar irisan bawang dan bumbu menjadi
masakan yang lezat, tetapi di tangan seorang penjahat dia akan jadi alat pembunuh yang sangat berbahaya.

Cara pandang dan paradigma berpikir sangat berpengaruh dalam menilai sesuatu. Sekarang saya melihat semacam persaingan antara bahasa visual dan bahasa verbal. Hal ini juga terjadi pada cara pandang bidang keilmuan. Ada semacam feodalisme keilmuan, antara ilmu humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Sebuah persaingan yang menyesatkan dan merusak ! Karena keduannya sama pentingnya! Beberapa orang menganggap segala sesuatu yang bergambar (termasuk komik)menjadi sesuatu yang tidak penting dan diabaikan. Sangat tidak relevan bila konteksnya adalah komik, apabila kita mempertentangkan antara gambar dan tulisan. Karena keduanya bukan ‘dua’, tapi keduanya adalah ‘satu’. Ada kata yang tak terlukiskan, adapula lukisan yang tak ter’kata’kan. Keduanya saling
melengkapi, dan keduanya melebur dalam komik. Dalam tata bahasa komik kita mengenal Quipu (simbol penanda ucapan, pikiran ) & Onomatope ( kata yang meniru bunyi, gambar yang meniru suara)

Seperti layaknya literatur, komik merupakan bentuk ekspresi yang komplit. Harus dipahami sebagai dokumen yang tidak boleh dibatasi pemaknaannya. Karena komik juga merefleksikan kondisi masyarakatnya sama seriusnya dengan art movement, literatur, atau film.(komikazemedia.tripod.com).